Perkembangan Anak

Respons: 0 komentar
Perkembangan masa pertengahan dan akhir anak
Masa pertengahan dan akhir anak-anak merupakan kelanjutan dalam masa awal anak-anak. Periode ini berlangsung dari usia 6 tahun hingga tiba saatnya individu menjadi matang secara seksual. Permulaan masa pertengahan dan akhir anak-anak ini ditandai dengan masuknya anak kelas satu sekolah dasar. Bagi sebagian besar anak ini, hal ini merupakan perubahan besar dalam pola kehidupannya. Sebab, masuk kelas satu merupakan peristiwa penting bagi anak yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan dalam sikap, nilai, dan perilaku.

Perkembangan fisik
Masa pertengahan dan akhir anak-anak merupakan priode pertumbuhan fisik yang lambat dan dan relatif seragam sampai mulai terjadi perubahan-perubahan pubertas, kira-kira 2 tahun menjelang anak menjadi matang secara seksual, pada masa ini pertumbuhan berkembang pesat. Berikut ini akan dijelaskan beberapa aspek dari pertumbuhan fisik yang terjadi selama periode akhir anak-anak, di antaranya keadaan berat dan tinggi badan, dan ketrampilan motorik.

Keadaan berat dan tinggi badan
Sampai dengan usia  sekitar 6 tahun terlihat badan anak bagian atas berkembang lebih lambat daripada bagian bawah. Anggota-anggota badan relatif masih pendek, kepala dan perut relatif masih besar. Selama masa akhir anak-anak, tinggi bertumbuh sekitar 5 hingga 6% dan berat bertambah sekitar 10% setiap tahun. Pada usia 6 tahun tinggi rata-rata anak adalah 46 inci dengan berat 22,5kg. Kemudian pada usia 12 tahun tinggi anak mencapai 60 inci dan berat 80 hingga 42,5kg (Mussen, Conger & Kagan, 1969).
Jadi, pada massa ini peningkatan berat badan anak lebih banyak dari pada panjang badannya. Pertumbuhan fisik selama ini, disamping memberikan kemampuan bagi anak-anak untuk berpartisipasi dalam berbagai aktifitas baru, tetapi juga dapat menimbulkan permasalahan-permasalahan dan kesulitan-kesulitan secara fisik dan psikologis bagi mereka (Seifert & Hoffnung, 1994).

Perkembangan Motorik
Sejak usia 6 tahun, koordinasi antara mata dan tangan (visiomotorik) yang dibutuhkan untuk membidik,menyepak,melempar, dan menangkap juga berkembang. Pada usia 7 tahun, tangan anak semakin kuat dan ia lebih menyukai pensil dari pada krayon untuk melukis. Dari usia 8 hingga 10 tahun, tangan dapat digunakan secara bebas, mudah dan tepat. Koordinasi motorik halus, berkembang, dimana anak-anak sudah dapat melukis dengan baik . pada usia 10 tahun hingga 12 tahun anak-anak sudah mulai memperlihatkan keterampilan-keterampilan manipulatif menyerupai kemampuan-kemampuan orang dewasa. Mereka mulai memperlihatkan gerakan-gerakan yang kopleks, rumit, dan cepat, yang diperlukan untuk menghasilkan karya kerajinann yang bermutu bagus atau memainkan instrumen musik tertentu (Santrock, 1995)
Untuk memperhalus keterampilan-keterampilan motorik mereka, anak-anak terus melakukan berbagai aktifitas fisik. Aktifitas fisisk ini dilakukan dalam bentuk permainan yang kadang-kadang bersifat informal, permainan yang diakhiri sendiri oleh anak, seperti permainan umpet-umpetan, dimana anak menggunakan keterampilan motoriknya. Anak-anak masa sekolah ini mengembangkan kemampuan melakukan permainan dengan peraturan, sebab mereka sudah dapat memahami peraturan-peraturan suatu permainan. Pada waktu yang sama anak-anak mengalami penigkatan dalam koordinasi dan pemilihan waktu yang tepat dalam melakukan berbagai cabang olahraga baik secara individual maupun kelompok.
Prtisipasi anak-anak dalam bidang  olahraga  dapat memberi latihan dan kesempatan untuk  belajar bersaing, meningkatkan harga diri (self -esteem), dan memperluas pergaulan dan persahabatan dengan teman-teman sebayanya.

Perkembangan Kognitif
Seiiring dengan masuknya anak kesekolah dasar, maka kemampuan kognitifnya turut mengalami perkembangan yang pesat. Karena dengan masuk sekolah, berarti dunia anak-anak bertambah luas, dan dengna meluasnya minat maka bertambah pula pengertian tentang manusia dan objek-objek yang sebelumnya kurang berarti bagi anak. Dalam keadaa normal pikiran anak berkembang secara berangsur-angsur.  Jika pada masa sebelumnya daya pikir anak masih bersifat imajinatif dan egosentris, maka pada usia sekolah dasar ini daya pikir anak berkembang kearaa berfikir kongkrit, rasional dan obyektif. Daya ingatnya menjadi sangat kuat, sehingga anak benar-benar berada dalam suatu stadium belajar.

Perkembangan memori
Selama tahun-tahun pertengahan dan akhir, anak-anak menunjukkan perubahan-perubahan penting bagaimana mereka mengorganisasi dan mengingat informasi. Selama masa awal anak-anak, memori jangka pendek mereka, telah berkembang dengan baik. Tetapi, setelah anak berusia 7 tahun tidak terlihat penigkatan yang berarti. Hal ini karena memori jangka panjang sangat tergantung pada kegiatan-kegiatan belajar individu ketika mempelajari dan mengingat informasi.
Meskipun selama periode pertengahan dan  periode akhir anak-anak ini tidak terjadi peningkatan yang berarti dalam memori jangka panjang, namun sebaliknya, anak-anak yang lebih tua berusaha menggunakan strategi yang lebih membantu dan mereka menggunakan strategi-strategi ini secara lebih konsisten. Matlin (1994)  Menyebutkan 4 macam strategi memori yang penting yaitu:
Rehearsal {pengulangan} adalah salah satu strategi meningkatkan memori dengan cara mengulangi berkali-kali informasi setelah informasi tersebut disajikan. Secara khusus adalah bahwa tingkat pengulangan menentukan keberhasilan memori (Schneider & Bjorklund, 1997)
Organization (organisasi), seperti pengkategorian dan pengelompokan, merupakan strategi memori yang sering digunakan. Anak-anak yang masih kecil sudah dapat mengelompokkan secara spontan item-item yang sama untuk membantu proses memorinya.
Imagery (perbandingan) adalah tipe dari karakteristik pembayangan dari seseorang {Chaplin, 2002}. Perbandingan juga merupakan salah satu strategi memori yang berkembang selama masa pertengahan dan akhir anak-anak. Demikian pentingnya penggunaan strategi perbandingan dalam meningkatkan memori anak-anak, Fly & lupart merekomendasikan agar para pendidik hendaknya memberikan lebih banyak pelajaran tentang bagaimana belajar (Matlin, 1994).
Retrieval (pemunculan kembali) adalah proses mengeluarkan atau mengangkat informasi dari tempat penyimpanan {Chaplin, 2002}. pemunculan kembali juga merupakan strategi memori yang banyak digunakan oleh orang dewasa. Ketika suatu syarat yang mungkin dapat membantu orang dewasa memunculkan kembali sebuah memori, mereka akan menggunakannya secara spontan. Sebaliknya, anak-anak yang diberi suatu isyarat pemunculan kembali tidak berusaha menyelidiki secara mendalam memori mereka. Meskipun demikian, seiring dengan bertambahnya usia, anak-anak belajar bagaimana menggunakan keempat strategi rehearsal, Organization, imagery, dan Retrieval.
Perlu juga dipahami bahwa disamping strategi-strategi memori di atas, juga terdapat hal-hal lain yang mempengaruhi memori anak, seperti tingkat usia, sifat-sifat anak (termasuk sikap, motivasi, dan kesehatan), serta pengetahuan yang telah diperoleh anak sebelumnya.

Perkembangan Pemikiran Kritis
Menurut Nickerson (dalam Seifert & Hoffnung, 1994) misalnya mendefinisikan pemikiran kritis sebagai “reflection or thought about complex issues, often for the purpose of choosing actions related to those issues.” Rumusan Santrock (1998) tentang pemikiran kritis adalah: “critical thinking involves grasping the deeper meaning of problems, keeping an open mind about different approaches and perspectives, not accepting on faith what other people and books tell you, and thinking reflectively rather than accepting the first idea that comes to mind.”
Dari dua rumusan diatas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan pemikiran kritis adalah pemahaman atau refleksi terhadap permasalahan secara mendalam, mempertahankan pikiran agar tetap terbuka bagi berbagai pendekatan dan perspektif yang berbeda, tidak mempercayai begitu saja informasi-informasi yang datang dari berbagai sumber (lisan atau tulisan), dan berpikir secara reflektif dan evaluatif.
Para ahli Psikologi dan pendidikan belakangan ini semakin menyadari bahwa anak-anak di sekolah tidak hanya harus mengingat atau menyerap secara pasif berbagai informasi baru, melainkan mereka perlu berbuat lebih banyak dan belajar bagaimana berpikir secara kritis. Anak harus memiliki kesadaran akan diri dan lingkungannya. Karena itu, pendidikan di sekolah haruslah mampu membangun kesadaran kritis anak didik.
Menurut Santrock (1998), untuk mampu berpikir secara kritis, anak harus mengambil peran aktif dalam proses belajar. Ini berarti bahwa anak anak mengembangkan berbagai proses berpikir aktif, seperti:
  1. Mendengarkan secara seksama;
  2. Mengidentifikasi dan merumuskan pertanyaan-pertanyaan;
  3. Mengorganisasikan pemikiran-pemikiran mereka;
  4. Memperhatikan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan;
  5. Melakukan deduksi;
  6. Membedakan antara kesimpulan-kesimpulan yang secara logika valid dan tidak valid.
Perkembangan Intelegensi (IQ)
Dalam pembahasan tentang perkembangan kognitif anak usia sekolah, masalah kecerdasan atau intelegensi mendapat banyak perhatian di kalangan psikolog. Hal ini adalah karena intelegensi telah dianggap sebagai suatu norma yang menentukan perkembangan kemampuan dan pencapaian optimal hasil belajar anak di sekolah. Dengan mengetahui intelegensinya, seorang anak dapat dikategorikan sebagai anak yang pandai atau cerdas (genius), sedang, atau bodoh (idiot).

Perkembangan Kecerdasan Emosional (EQ)
Dalam khasanah disiplin ilmu pengetahuan, terutama psikologi, istilah kecerdasan emosional(emotional intellegence), merupakan sebuah istilah yang relatif baru. Menurut Daniel Golleman berdasarkan penelitian neorolog dan psikolog yang menunjukkan bahwa kecerdasan emosional sama pentingnya dengan kecerdasan intelektual. Berdasarkan penelitian para neorolog dan psikolog tersebut, maka Golleman (1995) berkesimpulan bahwa setiap manusia memiliki dua potensi pemikiran, yaitu pemikiran rasional dan pemikiran emosional. Pemikiran rasional di gerakkan oleh kemampuan intelektual atau dengan populer dengan sebutan intlelligence quotient(IQ), sedangkan pemikiran emosional digerakkan oleh emosi.
Mengenali emosi orang lain(recognizing emotions in other) empati yaitu, kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain, mampu memahami perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan orang banyak atau masyarakat. Emosi jarang diungkapkan melalui kata-kata, melainkan lebuh sering diungkapkan melalui pesan non verbal, seperti melalui nada suara, ekspresi wajah, gerak-gerik, dan sebagainya.
Demikian pentingnya faktor emosi dalam menentukan keberhasilan belajar anak, maka De Porter, Reardon dan Singer-Nourie, menyarankan agar guru memahami emosi para siswa mereka. Dengan memperhatikan dan memahami emosi siswa, apa yang mendapat guru mempercepat proses pembelajaran yang lebih bermakna dan permanen. Memperhatikan dan memahami emosi siswa berarti membangun ikatan emosional, dengan menciptakan kesenangan dalam belajar, menjalin hubungan, dan menyingkirkan segala ancaman dari suasana belajar. Dengan kondisi belajar yang demikian, para siswa lebih sering ikut serta dalam kegiatan sukarela yang berhubungan dengan bahan pelajaran. Untuk membangun hubungan emosional dengan siswa tersebut, DePorter, Reardon, dan Singer Nourie (2001), merekomendasikan beberapa hal berikut:
  1. Perlakukan siswa sebagai manusia sederajat.
  2. Ketahuilah apa yang di sukai siswa, cara pikir mereka, dan perasaan mereka mengenai hal hal yang terjadi dalam kehidupan mereka.
  3. Bayangkan apa yang mereka katakan kepada diri sendiri, mengenai diri sendiri.
  4. Keahuilah apa yang menghambat mereka untuk memperoleh hal yang benar-benar mereka inginkan. Jika anda tidak tahu, tanyakanlah.
  5. Berbicaralah dengan jujur pada mereka, dengan cara yang membuat mereka mendengarkannya dengan jelas dan halus.
  6. Bersenang-senanglah dengan mereka.

Perkembangan Kecerdasan Spiritual (SQ)
Spiritual Quotient atau kecerdassan spiritual (SQ) merupakan temuan mutakhir secara ilmiah yang pertama kali digagas oleh Danah Zohar & Ian Marshall, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kecerdasan spiritual adalah ”kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bagwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain”.
Menurut Yadi Kurwanto (2003), ada dua hal yang diangap penting oleh Zohar & Marshall, yaitu aspek nilai dan makna sebagai unsur penting dari SQ. Hal ini terlihat dari beberapa ungkapan Zohar & Marshall sendiri, diantaranya:
  1. SQ adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan masalah makna dan nilai.
  2. SQ adalah kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya.
  3. SQ adalah kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.
  4. SQ adalah kecerdasan yang tidak hanya untuk mengetahui nilai-nilai yang ada, tetapi juga untuk secara kreatif menemukan nilai-nilai baru.
Perkembangan Hubungan Dengan KeluargaKemerosotan dalam hubungan keluarga yang dimulai pada akhir masa bayi terus berlanjut pada masa pertengahan dan akhir anak-anak. Sesuai dengan perkembangan kognitifnya yang semakin matang, maka pada masa pertengahan dan akhir, anak secara berangsur angsur lebih banyak mempelajari mengenai sikap-sikap dan motifasi orang tuanya, serta memahami aturan-aturan keluarga, sehingga mereka menjadi lebih mampu untuk mengendalikan tingkah lakunya. Perubahan ini mempunyai dampak yang besar terhadap kualitas hubungan antara anak-anak usia sekolah dan ornag tua mereka (dalam Seifert & Hoffnung, 1994). Dalam hal ini, orang tua merasakan pengontrolan dirinya terhadap tingkah laku anak mereka berkurang dari waktu kewaktu dibandingkan pada tahun-tahun awal kehidupan mereka. Beberapa kendali dialihkan dari orang tua kepada anaknya, walaupun prosesnya secara bertahap dan merupakan koregulasi.
Perubahan-perubahan ini berperan dalam pembentukan stereotip pengasuhan dari orang tua sepanjang masa akhir anak-anak. Dalam hal ini, orang tua memandang pengasuhan hanya meliputi mengurus masalah makanan, atau penerapan beberapa aturan saja. Stereotip pengasuhan demikian jelas tidak mempertimbangkan aktifitas orang tua dan anak yang masih sering dilakukan secara bersama-sama. Stereotip pengasuhan ini juga tidak memprtimbangkan hubungan emosional yang mendasari aktifitas-aktifitas tersebut.
Suatu studi mendokumentasikan mengenai gagasan ini dengan menganalisis surat-surat yang ditulis oleh anak-anak usia sekolah pada salah satu surat kabar lokal dengan tema : apa yang memebuat ibu jadi terhormat. Komentar-komentar ini menyiratkan bahwa pada masa akhir anak-anak, secara tipikal ikatan antara orang tua dan anak-anak adalah sangat kuat (Seifert & Hoffnung, 1994).  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jangan lupa komentarnya ya....!!!!
Terima Kasih Atas Kunjungannya

Copyright © Kang Topek

Sponsored By: GratisDesigned By: Habib Blog