Victor E. Frankl, seorang tokoh besar dalam kajian psiologi, terutama psikologi eksistensial- humanistic, yang sumbangan pemikirannya semakin kontekstual dewasa ini, khususnya dalam psikologi yang menaruh perhatian besar pada apa yang disebut kebermaknaan hidup.
Victor E. Frankl adalah seorang neuro-psikiater kelahiran Wina, Austria yang berhasil selamat keluar dari kamp konsentrasi maut nazi pada perang dunia II melalui usahanya untuk tetap mempertahankan dan mengembangkan hidup bermakna (the will to meaning). Ternyata harapan untuk hidup bermakna dapat dikembangkan dalam berbagai kondisi, baik dalam keadaan normal, maupun dalam penderitaan (suffering), misalnya dalam kondisi sakit(pain), salah (guilt), dan bahkan menjelang kematian sekalipun (Victor E. Frankl, psychotherapy and existentialism, 1973, hlm 25) ia mempelopori suatu model psikoterapi yang disebut logoterapi. Logoterapi sering dimaksudkan pada existential psychiatry dan humanistic psychology, karena dianggap sebagai aliran psikologi yang telah mapan setelah psikoanalisa Sigmund freud, psikologi individual Alfred Adler, yang tumbuh dan berkembang di kota Wina juga.
Sebelum membahas pemikiran psikologi Frankl lebih lanjut, pertama-tama harus dibahas tentang nama yang telah diberikan kepada system pemikirannya, yakni logoterapi. Kata logos yang telah diadopsi dari bahasa yunani berarti makna (meaning) dan juga ruhani (spirituality). Logoterapi ditopang oleh filsafat hidup dan insight mengenai manusia yang mengakui adanya dimensi sepiritual, selain dimensi somatic, dimensi psikologis, dan dimensi social pada eksistensi manusia, serta menekankan pada makna hidup dan kehendak untuk hidup bermakna sebagai potensi manusia. Dalam logoterapi dimaksukkan pula kemampuan khas manusia, yaitu self detachment dan self transcendence yang keduanya menggambarkan adanya kebebesan dan rasa tanggung jawab. Karakteristik eksistensi manusia menurut logoterapi adalah keruhanian (spirituality), kebebasan (freedom), dan tanggung jawab(responsibility) (Victor E. Frankl, the cocept of man in psychotherapy, dalam proceeding of the royal society of medicine. Vol.47, 1954, hal 979)
Setiap system dan metode psikoterapi pada dasarnya berlandaskan pada filsafat manusia yang khas. Sebagai contoh psikoanalisa dan behaviorisme, mazab psikoanalisa yang paling berpengaruh di amerika sampai sekarang sangat kental dipengaruhi oleh filsafat yang positivistic tentang manusia. Psikoanalisa dan behaviorisme melihat perilaku manusia digerakkan oleh situasi yang deterministic. Misalnya saja tentang gejala neurosis. Psikoanalisa selalu menghubungkan gejala neurosis dengan mencari penyebabnya pada permasalahan masa lalu yang belum terselesaikan, dan pelepasan hasrat terpendam (sublimasi) adalah cara mengatasinya. Sedangkan dalam behaviorisme, gejala neurosis dicari pendasarannya pada mekanisme salah belajar dalam menerima respon eksternal pada individu dan cara mengatasinya melalui modifikasi perilaku yang dikontrol melalui mekanisme stimulus-respon, reward-puniishment, dan metode conditioning lainnya.
Setiap model psikoterapi yang berusaha mengembalikan kebebasan manusia sebagai sesuatu yang kodrati, pastilah akan bersinggungan dengan dua mazhab besar diatas. Begitu juga logoterapi. Frankl berusaha mengembalikan kebebasan sebagai suatu yang berharga bagi manusia. Filsafat manusia yang mendasari logoterapi adalah semangat untuk hidup autentik guna mencapai kebebasan lewat upaya untuk hidup bermakna.
Filsafat manusia logoterapi. Lahir dari kondisi yang suram dan tiada penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Suasana perang dunia II benar-benar telah mencampakan harga diri kemanusiaan sampai kedasar terendahnya. Manusia tidak lagi dihargai sebagai entitas yang dapat mengambil keputusannya sendiri. Institusi Negara dan ideology-ideologi totaliter telah merontokkan martabat manusia. Kita bisa melihat karya para filosof eksistensialisasi yang sezaman dengan Victor E. Frankl, seperti albert camus dan jean paul Sartre yang frustasi akan masa depan umat manusia, mereka melihat kehidupan ini sebagai sesuatu yang ambigu dan dipenuhi dengan absurditas.
Tetapi dalam kondisi yang seperti itu Victor E. Frankl tidak ingin terjebak dalam absurditas dunia. Dia berusaha melampauinya melalui filsafat hidup logoterapi. Filsafat logoterapi mensiratkan sebuah harapan besar tentang masa depan kehidupan manusia yang lebih berharga dan bermakna. Teori tentang kodrat manusia dalam logoterapi dibangun diatas tiga asumsi dasar, dimana antara yang satu dengan yang lainnya saling menopang, yakni: (a) kebebasan bersikap dan berkehendak (the freedom to will) (b) kehendak untuk hidup bermakna (the will to meaning) dan (c) tentang makna hidup (the meaning of life) (Victor E. Frankl, the psychological foundations of logoterapy , dalam psicoterapy an existentialism, hal 13-28)
Tentang kebebasan berkehendak pada dasarnya merupakan antitesa terhadap pandangan mengenai manusia yang sifatnya deterministic, sebagaimana filsafat yang mendasari pandangan psikoanalisa dan behaviorisme. Victor E. Frankl sendiri menyebut pandangan yang berbahaya tersebut sebagai pandangan pandangan determinisme menurut Victor E. Frankl adalah: pandangan seseorang yang tidak menghargai kemampuaannya untuk mengambil sikap untuk mencapai kondisi yang di inginkannya. Manusia tidak sepenuhnya dikondisikan dan ditentukan oleh lingkungannya, namun dirinyalah yang lebih menentukan apa yang akan dilakukan terhadap berbagai kondisi itu. Dengan kata lain manusia yang menentukan dirinya sendiri (Victor E. Frankl, mans search for meaning:an introduction to logoterapy,1962, hal 131).
Tentang kehendak untuk hidup bermakna (the will to meaning), menurut frankl merupakan motifasi utama yang terdapat pada manusia untuk mencari, menemukan dan memenuhi tujuan dan arti hidupnya.
Dalam menerangkan the will to meaning, frankl berangkat dari kritiknya terhadap the will to pleasure (Sigmund freud) dan the will to power (Alfred Adler, yang masing-masing menganggap tujuan utama dari motivasi manusia adalah untuk mendapatkan kesenangan/ kenikmatan (pleasure) dan kekuasaan (power)
Mengenai kedua pendapat diatas frankl member catatan bahwa kesenangan bukanlah semata-mata tujuan hidup manusia, melainkan akibat sampingan (by product) dari sebuah tujuan itu sendiri. Begitu juga dengan kekuasaan yang hanya menjadi sarana untuk mencapai tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Karena pada dasarnya pleasure dan power sebenarnya sudah tercakup dalam the will to meaning (kekuasaan merupakan sarana untuk mencapai makna hidup, dan kesenangan hanyalah efek samping yang dihasilkan dari terpenuhinya makna hidup tersebut)
Frankl memang sengaja menyebut the will to meaning bukan the drive to meaning, karena menurutnya makna dan nilai itu berada dluar diri manusia dan kebebasan manusialah yang menentukan apakah ia akan menerimanya atau menolaknya. Makna dan nilai adalah hal-hal yang harus dicapai bukan suatu dorongan.
Tentang makna hidup, frinkl menganggab bahwa makna hidup itu bersifat unik, spesifik, personal, sehingga masing-masing orang mempunyai makna hidup yang khas dan cara penghayatan yang berbeda antara pribadi yang satu dengan yang lainnya. Seorang logoterapis sama sekali tidak memberikan makna hidup tertentu pada klien-kliennya, ia hanya membantu memperluas cakrawala pandangan klien mengenai kemungkinan-kemungkinan menemukan makna dan arti hidup, serta membantu mereka untuk menyadari tanggung jawab dari setiap tujuan hidup mereka. Memilih, menentukan makna hidup sepenuhnya menjadi tanggung jawab klien, dan bukan tanggung jawab terapis.
Dalam the doctor and the soul (1964), frankl juga menerangkan bah logoterapi dapat membimbing manusia dalam melakukan kegiatan yang secara potensial mengandung nilai-nilai yang memungkinkan seseorang menemukan makna hidup. Pertama, sesuatu yang seyogyanya kita limpahkan dalam kehidupan, maksudnya berkarya serta melakukan tugas hidup sebaik-baiknya. Kegiatan ini bisa disebut sebagai creative values (nilai-nilai kreatif). Kedua, suatu yang dapat kita peroleh dalam kehidupan, yakni berusaha mengalami dan menghayati setiap nilai-nilai yang ada dalam kehidupan itu sendiri, seperti keindahan, kebahagiaan, kebenaran dan sebagainya. Proses mengalami ini bisa disebut sebagai experiental values (nilai-nilai penghayatan). Ketiga menerima berbagai bentuk penderitaan yang tidak mungkin dielakkan lagi, seperti kedukaan, sakit yang tak tersembuhkan lagi, kematian, setelah segala daya upaya telah dilakukan secara maksimal. Sikap tabah terharhadap realitas seperti ini biasa disebut sebagai attitude values (nilai-nilai bersikap).
Nilai-nilai diatas kiranya dapat dihadapkan pada para klien oleh seorang logoterapis, dalam membantu menemukan makna dan tujuan hidup klien yang otentik. Dan terpulang pada klien sendiri untuk memilih, menentukan, dan merealisasikannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jangan lupa komentarnya ya....!!!!
Terima Kasih Atas Kunjungannya